Beranda | Artikel
Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 4)
Kamis, 5 Desember 2024

Teks Hadis Kelima

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذَا دُعِيَ أحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ

“Jika salah seorang di antara kalian diundang (walimah), maka hendaklah dia memenuhi undangan tersebut. Jika dia sedang berpuasa, hendaklah dia mendoakan (tuan rumah). Dan jika tidak berpuasa, hendaklah ia makan.” (HR. Muslim no. 1431)

Teks Hadis Keenam

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ

“Jika dia mau, dia boleh makan; dan jika dia mau, dia boleh meninggalkannya.” (HR. Muslim no. 1430)

Kandungan Hadis

Kandungan pertama: Wajibkah memenuhi undangan walimah jika sedang berpuasa?

Hadis ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah alasan untuk tidak memenuhi undangan walimah. Seseorang yang diundang saat berpuasa, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah tersebut sebagaimana orang yang tidak berpuasa. Kehadirannya tersebut cukup untuk memenuhi maksud undangan, meskipun dia tidak ikut makan. Jika tuan rumah mengizinkannya (untuk tidak hadir), kewajiban untuk hadir pun dapat gugur.

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari perkataan,

فليصلِّ

(falyushalli).

Sebagian ulama memahaminya secara tekstual dan menafsirkannya sebagai salat yang kita kenal, yaitu ibadah salat dari takbiratul ihram hingga salam. Artinya, seseorang hadir memenuhi undangan walimah dan mendirikan salat agar mendapatkan keutamaan dari salat tersebut dan memberikan keberkahan kepada tuan rumah dan para tamu yang hadir.

Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “falyushalli” adalah doa (mendoakan tuan rumah). Maksudnya, hendaknya ia berdoa untuk tuan rumah dengan permohonan ampunan, keberkahan, dan petunjuk (hidayah) bagi orang yang mengundang. [1] Penafsiran “salat” sebagai “doa” juga terdapat dalam nash-nash syariat, seperti dalam firman Allah Ta’ala,

وَصَلِّ عَلَيهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ

“Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doamu itu adalah ketenteraman bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

Penafsiran “salat” sebagai doa juga diriwayatkan oleh sebagian perawinya, yaitu Hisyam bin Hassan, dalam riwayat al-Baihaqi [2].

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan,

فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيَدْعُ

“Jika dia tidak berpuasa, hendaklah dia makan; dan jika dia berpuasa, hendaknya dia berdoa.” (HR. Abu Dawud no. 3737)

Dalam riwayat Ahmad melalui jalur Hisyam bin Hassan disebutkan,

فَلْيُصَلِّ وَلْيَدْعُ لَهُمْ

“Hendaknya dia salat dan berdoa untuk mereka.” (HR. Ahmad, 13: 172-173)

Al-Albani rahimahullah mengatakan,

ولعل قوله” :وليدعُ”خطأ من بعض النساخ أو الرواة، وأصله: أي: ليدع لهم

“Kemungkinan besar kata ‘wal-yad’u’ adalah kesalahan dari sebagian penyalin manuskrip atau perawi, dan asalnya adalah: yaitu, hendaknya dia berdoa untuk mereka.” [3]

Syekh Ahmad Syakir rahimahullah menyebutkan bahwa dia tidak menemukan dalam riwayat manapun bahwa kalimat ini berasal dari hadis marfu’ (disandarkan langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sehingga kemungkinan besar itu adalah penjelasan yang disisipkan oleh Hisyam bin Hassan. [4]

Yang lebih kuat, wallahu Ta’ala a’alam, adalah pendapat pertama. Sehingga orang yang diundang hendaknya salat dua rakaat di rumah si pengundang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha [5]. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَلَى أُمِّ سُلَيْمٍ، فَأَتَتْهُ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ، قَالَ: أَعِيدُوا سَمْنَكُمْ فِي سِقَائِهِ، وَتَمْرَكُمْ فِي وِعَائِهِ، فَإِنِّي صَائِمٌ» ثُمَّ قَامَ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ البَيْتِ، فَصَلَّى غَيْرَ المَكْتُوبَةِ،

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim membawakan kurma dan lemak untuk beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kembalikan lemak kalian ke tempatnya dan kurma kalian ke wadahnya, karena sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Lalu beliau berdiri menuju sudut rumah dan melaksanakan salat sunah … “ (HR. Bukhari no. 1982)

Pendapat ini menggabungkan antara ibadah salat dan doa sekaligus. [6]

Kandungan kedua: Jika sedang berpuasa, apakah puasanya dibatalkan?

Jika seorang yang berpuasa memenuhi undangan walimah, maka jika puasanya adalah puasa wajib seperti puasa nadzar atau puasa qadha Ramadan, haram baginya untuk membatalkan puasa tersebut menurut ijmak (kesepakatan) ulama. Disunahkan untuk memberitahukan kondisinya bahwa dia sedang berpuasa, agar tuan rumah memahami alasannya, supaya tidak disangka bahwa dia tidak suka dengan makanan yang disajikan atau semacamnya. Menyampaikan kondisi sedang berpuasa ini tidak dianggap sebagai perbuatan riya’, melainkan sebagai bagian dari adab pergaulan yang baik dan untuk memberikan alasan pada waktu yang dibutuhkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ

“Jika salah seorang di antara kalian diundang ke suatu jamuan, sedangkan dia sedang berpuasa, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.’” (HR. Muslim no. 1150)

Jika ia hadir, hendaknya ia mendoakan tuan rumah dengan doa-doa yang sesuai, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَتَنَزَّلَتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ

“Semoga orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian, orang-orang baik makan makanan kalian, dan malaikat turun atas kalian.” (HR. Ahmad, 19: 397-398, dengan sanad yang sahih)

Atau doa lain yang sesuai dengan keadaan pada saat itu.

Adapun jika puasanya adalah puasa sunah, maka dibolehkan baginya untuk membatalkan puasanya. Hal ini karena membatalkan puasa sunah dengan alasan yang dibenarkan itu hukumnya diperbolehkan. Jika dengan membatalkan puasa dan ikut makan dari makanan yang disajikan saudara yang mengundangnya itu dapat menyenangkan hatinya dan membawa kebahagiaan kepadanya, maka yang lebih baik dan lebih utama adalah membatalkan puasa sunah.

Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa dia membuat makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah datang bersama para sahabatnya. Ketika makanan disajikan, seorang laki-laki dari kaum itu berkata, “Saya sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دعاكم أخوكم، وتكلف لكم

“Saudaramu telah mengundangmu dan bersusah payah untukmu.”

Kemudian beliau berkata kepadanya,

أفطر، وصم مكانه يومًا إن شئت

“Berbukalah, dan gantilah puasamu di hari lain jika engkau mau.” (HR. Al-Baihaqi, 4: 279. Sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 4: 210. Dinilai hasan oleh Al-Albani di Al-Irwa’, 7: 11-12)

Kandungan ketiga: Jika memenuhi undangan walimah, apakah harus makan?

Para ulama, yaitu salah satu pendapat terkuat dalam mazhab Hanbali dan Syafi’i, berdalil dengan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa yang menjadi kewajiban adalah menghadiri (memenuhi) undangan, sedangkan makan tidaklah wajib meskipun orang yang diundang tidak sedang berpuasa. Hal ini karena yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan diancam jika ditinggalkan adalah menghadiri undangan, sedangkan makan tidak disebutkan sebagai sesuatu yang wajib. Sebaliknya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa makan bersifat pilihan (opsional).

Namun, makan lebih utama karena lebih sempurna dalam memenuhi undangan, lebih memuliakan pengundang, dan juga menghibur hatinya, kecuali jika ada uzur, seperti sudah makan sebelum datang, makanan yang disajikan tidak cocok untuknya, memerlukan makanan khusus, atau alasan lain yang menghalangi makan. Akan tetapi, jika memungkinkan untuk duduk bersama mereka dan makan meskipun sedikit dari jenis makanan yang disukai, seperti buah-buahan misalnya, itu lebih baik dan lebih sempurna.

Adapun mazhab Zhahiriyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan pendapat yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah [7] berpendapat bahwa makan adalah wajib, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ

“Jika tidak berpuasa, maka hendaknya dia makan”; dan karena tujuan dari menghadiri undangan adalah untuk makan, sehingga hal itu menjadi kewajiban.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama, yaitu bahwa makan tidaklah wajib; karena hadis dengan jelas memberikan pilihan kepada orang yang diundang antara makan atau tidak makan (lihat kembali teks hadis keenam di atas). Sehingga perintah dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَلْيَطْعَمْ

“hendaknya ia makan’; diartikan sebagai perintah anjuran (sunah) [8]. Pendapat yang mengatakan bahwa tujuan dari undangan adalah untuk makan, maka memerlukan peninjauan kembali, karena yang dimaksud sebenarnya adalah memenuhi undangan dan hadir, serta menaati perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, kewajiban hadir juga berlaku bagi orang yang berpuasa yang tidak makan [9]. Wallahu Ta’ala a’lam. [10]

[Bersambung]

***

@30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 9: 247.

[2] As-Sunan Al-Kubra, 8: 263.

[3] Al-Irwa’, 7: 14.

[4] Al-Musnad, 14: 170.

[5] Lihat Syarh At-Thibi ‘ala Al-Misykat, 4: 195.

[6] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 7: 132.

[7] Syarh Shahih Muslim, 7: 276.

[8] Tharh At-Tatsrib, 7: 80.

[9] Al-Mughni, 10: 197-198.

[10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 422-425). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Artikel asli: https://muslim.or.id/100939-hukum-hukum-terkait-walimah-pesta-pernikahan-bag-4.html